Ekonomi Alternatif

Mohammad Fachry
7 min readJul 7, 2021
Source: Freepik.com

Sudah lebih dari 70 tahun dunia mengandalkan PDB (produk domestik bruto) dalam mengukur kemajuan suatu negara. PDB adalah perhitungan segala bentuk barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara yang digunakan untuk menentukan pendapatan nasional melalui aktivitas pasarnya. PDB pun telah menjadi indikator penting dalam melihat kesehatan ekonomi negara, dan untuk itu, menumbuhkannya wajib dilakukan.

Indonesia tidak lepas dari komitmennya untuk terus meningkatkan PDB. Segala kebijakan dan keputusan pemerintah sangat berorientasi pada tujuan untuk menumbuhkan PDB. Ambil contoh UU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Meski mendapat penolakan secara masif dari masyarakat, pemerintah tetap gigih untuk meloloskannya dengan alasan bahwa undang-undang ini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara melalui investasi dan pembukaan lapangan pekerjaan. Padahal, undang-undang ini berpotensi menarik investasi-investasi yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

Kasus penanganan pandemi Covid-19 adalah contoh lain. Sudah setahun lebih pandemi ini berlangsung, tetapi kasus semakin tidak terkendali. Dalam penanganan pandemi, ekonomi selalu menjadi alasan pemerintah untuk tidak mengambil pilihan yang disarankan para ahli. Bahkan bisa dibilang, sektor ekonomi lebih sering diutamakan daripada kesehatan selama penanganan pandemi.

Semua keputusan-keputusan ini, sekali lagi karena kepercayaan pemerintah akan pentingnya meningkatkan ekonomi.

Menumbuhkan perekonomian, terlebih PDB, tentu bukan tanpa tujuan. Argumen utama yang sering digemborkan terkait ‘kemuliaan’ PDB adalah, pertumbuhan PDB bisa menghapus kemiskinan. Melalui konsep trickle-down, para pendukung PDB berargumen bahwa rakyat miskin pada akhirnya akan ‘kecipratan’ hasil dari ekonomi global dan dapat meningkatkan taraf hidup. Kenyataanya pertumbuhan PDB malah menghasilkan hal sebaliknya.

Jason Hickel melalui bukunya, The Divide, memaparkan bahwa meskipun PDB dunia tumbuh 65% sejak 1990, jumlah orang miskin; atau mereka yang hanya mengandalkan biaya maksimal $5 perhari untuk hidup, malah bertambah sebanyak 370 juta orang. Fenomena ini terjadi karena hasil dari pertumbuhan ekonomi global tidaklah terdistribusi secara merata: 40% manusia terkaya mendapatkan 95% kekayaan dunia, sedangkan 60% rakyat termiskin hanya mendapatkan 5% sisanya.

Hickel melanjutkan, jika pertumbuhan ekonomi masih terus digunakan sebagai cara untuk ‘mencipratkan’ kekayaan ke semua manusia, maka perlu waktu setidaknya 207 tahun untuk benar-benar memusnahkan kemiskinan dengan skenario business-as-usual dengan catatan tidak ada force majeure yang membuat perekonomian terhenti, seperti krisis ekonomi atau pandemi (itu pun untuk memenuhi standar biaya hidup $5 per hari. Ekonomis Harvard, Lant Pritchett, bahkan menyarankan standar biaya hidup per orang seharusnya berkisar di $12.50 per hari untuk kondisi layak).

Menunggu 207 tahun untuk memusnahkan kemiskinan tentu bukanlah pilihan tepat, karena logika ekonomi hari ini sangat bertentangan dengan daya dukung alam. Naomi Klein melalui bukunya, This Changes Everything, menjelaskan bahwa logika ekonomi kita sangat bergantung dengan energi fosil. Ketergantungan ini membuat perusahaan-perusahaan mencari energi di segala penjuru dunia dan mengeruknya dari bumi tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Aktivitas inilah yang mendorong krisis iklim semakin parah karena menganggu keseimbangan alam. Maka dari itu, kita harus keluar dari skenario business-as-usual untuk bisa menahan potensi bencana alam akibat ketergantungan energi fosil dalam menggerakkan roda perekonomian.

2 masalah ini; ketimpangan kekayan & krisis iklim, adalah masalah terbesar kita abad ini, dan keduanya diakibatkan oleh logika ekonomi; dalam mengejar pertumbuhan PDB, yang bersifat merusak lingkungan serta merugikan manusia. Sekarang sudah saatnya kita perlu memikirkan ulang cara hidup yang lebih adil; bukan hanya untuk sesama manusia, namun juga bagi bumi tempat kita tinggal.

Demokrasi Ekonomi: Sebuah Alternatif

Pertanyaan sekarang: adakah konsep/sistem ekonomi yang lebih adil? Adakah cara hidup yang bisa mengedepankan kesejahteraan manusia tanpa harus mengorbankan alam? Di sinilah konsep demokrasi ekonomi bisa hadir.

Demokrasi ekonomi adalah ekonomi milik rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Alih-alih mencari keuntungan dan mengejar pertumbuhan seperti ekonomi hari ini, demokrasi ekonomi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan memperhatikan daya dukung alam, mendengar suara rakyat biasa, serta memberikan kesejahteraan bagi siapa saja, terlepas dari ras, jenis kelamin maupun asal negara.

Menurut Marjorie Kelly & Ted Howard dalam bukunya, The Making of Democratic Economy, demokrasi ekonomi mempunyai 7 prinsip yang membedakannya dengan ekonomi yang bersifat ekstraktif. Ketujuh prinsip tersebut adalah:

  • The principle of community, bahwa tujuan ekonomi bukanlah untuk mendapat keuntungan atau mengejar pertumbuhan, melainkan untuk memberikan kesejahteraan bagi komunitas.
  • The principle of inclusion, bahwa semua manusia dalam komunitas; terlepas dari latar belakangnya, berhak mendapatkan perlakuan yang sama.
  • The principle of place, bahwa kesejahteraan dalam komunitas harus dipertahankan secara lokal untuk memberikan dampak yang lebih dekat bagi komunitas-komunitas tersebut.
  • The principle of good work, bahwa tenaga kerja lebih penting dari modal, dan oleh karena itu, kondisi kerja dan upah harus layak.
  • The principle of democratic ownership, bahwa pengambilan keputusan harus diambil secara demokratis dan tetap bertujuan untuk kepentingan bersama.
  • The principle of sustainability, bahwa keberlanjutan ekosistem adalah hal yang harus dipertahankan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
  • The principle of ethical finance, bahwa segala hal yang berhubungan dengan investasi dan keuangan harus tetap berpihak pada komunitas serta memperhatikan daya dukung alam.

Demokrasi ekonomi bukanlah konsep yang utopis. Di Amerika Serikat, penerapan model ekonomi seperti ini sudah mulai menjamur di level bisnis/usaha. Ada agency home-care yang sebagian besar memperkerjakan perempuan minoritas, hingga bisnis penyedia produk dan jasa konsultasi perkebunan yang ramah lingkungan.

Dalam salah satu praktiknya, perusahaan-perusahaan ini menawarkan model yang berbeda dari perusahaan konvensional: mereka memungkinkan para karyawannya memiliki perusahaan tersebut juga. Model ini biasanya dinamakan worker-owned cooperative atau koperasi pekerja. Dengan kata lain, karyawan dari perusahaan tersebut bisa mempunyai hak istimewa yang biasanya terbatas dimiliki oleh para pemilik modal saja. Hal ini menciptakan lingkungan yang lebih demokratis di perusahaan, karena setiap anggota di dalamnya memiliki suara dalam pengambilan keputusan (one member one vote) serta keuntungan dari perusahaan tidak terpusat pada segelintir orang saja.

Contoh terbaik dari demokrasi ekonomi level perusahaan bisa dilihat pada Mondragon, sebuah perusahaan berbasis koperasi pekerja yang berlokasi di Basque, Spanyol. Berdiri sejak tahun 1956, Mondragon kini telah memperkerjakan lebih dari 81.000 karyawan untuk 4 sektor berbeda (manufaktur, ritel, keuangan dan pendidikan), yang terdiri dari 96 koperasi pekerja dan 14 pusat penelitian dan pengembangan. Dengan tetap mengedepankan partisipasi setiap anggotanya dan memastikan bahwa distribusi kekayaan dapat tersebar secara merata, Mondragon berhasil melakukan penjualan secara internasional, menjalankan universitas, bisnis inkubator, hingga bank secara independen, serta menghasilkan pendapatan sebesar 12 miliar Euro pada akhir 2019.

Di sisi lain, pengaplikasian demokrasi ekonomi ada juga dalam lingkup perkotaan. Bentuk ini terkenal dengan istilah community wealth building, sebuah model yang berfokus pada pembangunan ekonomi lokal yang kolaboratif, inklusif, berkelanjutan, dan demokratis. Community wealth building mendorong pertumbuhan institusi/organisasi yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi ekonomi, seperti koperasi pekerja, bank publik yang dimiliki komunitas, hingga anchor institution, institusi yang bernaung (anchored) dan berdedikasi untuk komunitas setempat; biasanya dalam bentuk rumah sakit atau pusat pendidikan.

The Cleveland Model. Sumber: community-wealth.org

The Cleveland Model adalah salah satu implementasi community wealth building yang berlokasi di Cleveland, Ohio. Bekerja sama dengan The Democrative Collaborative, Cleveland Foundation, dan Ohio Employee Ownership Centre, The Cleveland Model menjadi model community wealth building melalui implementasinya yang mendorong berbagai bisnis berbasis koperasi pekerja dan investasi di anchor institutions untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi komunitas setempat.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia sendiri, konsep demokrasi dalam ekonomi mungkin belum dikenal luas seperti yang terjadi di luar negeri. Meskipun jika kita telusuri, istilah demokrasi ekonomi ini terdapat pada landasan hukum kita melalui Pasal 33 ayat 4 UUD 1945:

“Bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Salah satu founding fathers Indonesia yang mendapat julukan Bapak Koperasi Indonesia; Bung Hatta, bahkan juga pernah menulis pentingnya demokrasi ekonomi sebagai pendamping demokrasi politik:

“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada.”

Lantas, apa yang membuat demokrasi ekonomi di Indonesia kini redup?

Demokrasi Ekonomi: Demokrasi yang Hilang

Sayangnya, konsep ‘demokrasi’ pada demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik hanya berhenti pada definisi dan tidak teraplikasikan dengan baik secara praktik.

Menurut filsuf John Dewey, demokrasi bukan hanya sekadar sistem pemerintahan, melainkan suatu kondisi ideal yang bisa terjadi di berbagai aspek sosial. Kondisi ini; masih menurut Dewey, bisa menjadikan kita individu yang bermoral, penuh kebebasan dan bermartabat, jika kita hidup dan bekerja dengan kehadiran berbagai institusi yang demokratis.

Tentu definisi demokrasi dari Dewey tidaklah sama dengan apa yang kita rasakan sekarang di Indonesia. Usaha pelemahan KPK, represi terhadap aktivis dan jurnalis, hadirnya UU ITE yang membredel kebebasan berpendapat, hingga pelegalan negara atas perampokan tanah adat, adalah beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa kondisi demokrasi kita hari ini tidak baik-baik saja.

Krisis demokrasi hari ini bisa terjadi karena pemegang kendali pemerintahan masih dikuasai oleh segelintir orang saja. Memang benar kita masih menyelenggarakan pemilu/pilkada untuk memilih wakil rakyat dalam menjalankan pemerintahan setiap 5 tahun sekali. Namun setelah pesta politik tersebut berakhir, suara rakyat seakan dinihilkan selama masa pemerintahan berlangsung. Coba kembali tengok bagaimana UU Cilaka yang ditolak banyak masyarakat bisa lolos pengesahan tanpa ada partisipasi publik.

Terlebih, para wakil rakyat yang terpilih dalam menjalankan pemerintahan sekarang mayoritas berlatar belakang pengusaha atau punya hubungan dengan elit politik. Hal ini mensinyalir bahwa hanya mereka yang memiliki uang dan koneksi yang dapat dengan mudah terpilih sebagai wakil rakyat. Tidak heran, jika kemudian kebijakan-kebijakan pemerintah lebih menguntungkan para pengusaha dan penguasa daripada rakyat banyak.

Untuk mengembalikan kesejahteraan kepada rakyat, keputusan-keputusan terkait kehidupan juga harus datang dari rakyat yang terdampak. Jika demokrasi politik yang berlangsung hari ini sulit tercapai, demokrasi ekonomi setidaknya bisa menjadi perkenalan kita terhadap praktik demokrasi yang sebenarnya.

--

--